SETIA HATI. Sudah, itu saja nama asli perguruan asli Madiun ini. Tanpa embel-embel nama lain di belakangnya. Hanya SH.
Setia Hati bisa disebut sebagai organisasi yang lengkap. Mengajarkan
bagaimana cara keluar dari permasalahan hidup, dengan menggabungkan
kebutuhan jasmani dan rohani. Dua kebutuhan itu lalu dilebur dalam gerak
indah untuk pertahanan diri, yang akhirnya diberi nama pencak silat.
Pencak silat dalam arti untuk pertahanan lahir batin, bukan untuk
gubrak-gabruk adu fisik.
Adalah Ki Ngabehi Surodiwiryo yang punya inisiatif untuk melahirkan
ajaran Setia Hati. Di Jl Gajah Mada No 41, Kelurahan Winongo, Kecamatan
Manguharjo, Kota Madiun, ajaran ini mulai diperkenalkan oleh pria
flamboyan yang akrab disapa Eyang Suro itu pada khalayak pada tahun
1903.
Filosofi dasar ajaran Setia Hati sebenarnya sangat luhur dan manusiawi.
”Setia Hati memiliki makna setia menuruti kehendak hati yang luhur
untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa,” papar Koes Soebakir,
pengesuh Setia Hati –atau menurut istilah SH disebut pengecer.
SH, kata Koes, memberikan suatu pelajaran untuk mendapatkan
keselamatan. Secara teknis, memberikan pelajaran lahiriah berupa pencak
silat dan pelajaran batiniah berupa upaya sungguh-sungguh untuk
mendalami ajaran ke-Tuhan-an.
Lalu dua hal tersebut dipadukan sehingga melahirkan satu gerak, baik
refleks fisik maupun rasa, sehingga bisa memecahkan permasalahan yang
dihadapi, menghindarkan diri dari marabahaya, dan dengan begitu seorang
warga SH bisa selamat. Dan perpaduan itulah yang disebut sebagai
pencak silat, buah dari kolaborasi jasmani dan rohani yang luhur.
Pencak silat SH itu untuk melindungi diri. Untuk mengeluarkan seorang
SH dari permasalahan hidupnya. Bukannya untuk mencari masalah dengan
main hajar orang lain. ”Kalau saja semua SH berpedoman pada pakem yang
diajarkan Ki Ngabehi Surodiwiryo, tidak akan pernah ada insiden. Karena
seorang SH sejati pasti akan menghindari perbuatan yang tidak pantas,
seperti mencelakai orang lain,” kata Koes.
SH asli, yang saat ini lebih dikenal dengan nama SH Panti, tidak pernah
merekrut anggota. Tapi, para pengurus memilih istilah “menghantar”
siapa yang berminat untuk masuk ke dalam SH. Mereka pun cukup selektif
untuk memilih calon warga.
”Calon warga SH harus memenuhi dua syarat. Pertama, benar-benar punya
niat kuat untuk mempelajari SH yang murni. Yang kedua dewasa, dalam
artian sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk atau benar dan
salah,” kata Koes.
Beda dengan SH lainnya, seperti SH Terate dan Tunas Muda --keduanya
turunan dari SH Panti—yang umumnya merekrut calon warga dalam skala
massif, di SH Panti sekali masuk maksimal hanya dua orang. ”Menurut
perhitungan ajaran SH tidak boleh lebih dari dua orang. Ajaran itu
murni dari Ki Ngabehi Surodiwiryo,” terang pengecer ke-7 SH Panti itu.
Inilah yang membuat SH Panti terkesan adem ayem. Pemilihan anggotanya
cukup selektif, sehingga pengajaran benar-benar fokus dan mengena.
Menurut Koes Soebakir, seorang SH Panti dijamin tidak akan melenceng
dari ajaran dan tujuh sumpah yang diucapkan ketika ditahbiskan sebagai
seorang SH. ”Kalau melanggar sumpah tidak akan selamat.”
Juga karena alasan itulah SH Panti bukan tipikal SH yang suka menggelar
unjuk kekuatan massa. Karena memang bukan itu tujuan SH. Tapi lebih
pada pengajaran pada masing-masing individu SH menjadi pribadi yang
matang lahir-batin dan selamat dunia-akhirat. Ajaran SH untuk individu,
bukan untuk kelompok. Dan ajaran SH hanya diberikan pada warga yang
sudah memenuhi syarat dan dikecer, tidak disebarluaskan secara umum.
Sampai sekarang, SH masih eksis dengan nama SH Panti. Pusat kegiatannya
di rumah yang pernah ditempati Eyang Suro bersama istrinya, Ny
Sariati. Suasana rumah yang kemudian disebut panti itu memang adem
ayem, jauh dari kesan ingar-bingar.
Suasana itu seperti pencerminan dari kehidupan Ki Ngabehi Surodiwiryo,
seorang pekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) Madiun pada
zaman kolonial Belanda, yang menjalani hidup bersahaja dan tenang.
Tidak mengangkat dagu kendati dia adalah keturunan darah biru bila
ditarik dari garis darah Betoro Katong penguasa Ponorogo zaman dulu.
Dijalankan Tiga Badan
Secara organisasi, SH Panti dijalankan oleh tiga unsur, yaitu Badan
Pengesuh atau Pengikat, Badan Pengasuh, dan Badan Pertimbangan.
Disebut Pengesuh, berasal dari kata dasar esuh, dalam bahasa Jawa
berarti pengikat lidi. Pengesuh bisa diartikan sebagai pemersatu yang
bertanggung jawab terhadap SH. Yang bisa menjadi seorang pengesuh harus
warga tingkat tiga, seperti Koes Soebakir. Dari Badan Pengesuh inilah
akan diangkat juru kecer, yang akan mengesahkan seseorang sebagai warga
SH.
Sedangkan Badan Pengasuh bertanggung jawab atas rumah tangga SH. Yang
mengemban peran ini tidak harus tingkat tiga layaknya Pengesuh.
Tugasnya sebagai pelaksana upacara kecer, Suran, atau silaturahim.
Badan Pertimbangan bertugas memberikan pertimbangan, referensi, dan
bagaimana keputusan yang akan diambil oleh organisasi. ”Tapi bukan
berarti mendominasi badan pengesuh maupun pengasuh,” Koes menjelaskan.
Pecah karena Pilihan
Pada dasarnya SH memang hanya satu. Tapi, dalam kondisi kekinian, ada
empat SH yang eksis, yaitu SH Panti, SH Terate, SH Organisasi, dan SH
Tunas Muda. SH Panti, Terate, dan Tunas Muda terpusat di Madiun,
sementara SH Organisasi lahir dan besar di Semarang, Jawa Tengah.
Mereka pecah karena pilihan sikap masing-masing. Dan hanya SH Panti
yang mengaku masih menjalankan pakem ajaran asli Ki Ngabehi
Surodiwiryo.
Menurut catatan sejarah Setia Hati, SH Terate didirikan oleh Hardjo
Oetomo di Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun pada
tahun 1922. Sampai sekarang, pusat kegiatan SH Terate ada di Jl Merak,
Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Taman, Kota Madiun.
Lalu, pada tahun 1932, Munandar Hadiwijoto memilih mendeklarasikan SH
Organisasi di Semarang. Selang tiga dikade setelah SH Organisasi lahir,
tepatnya tahun 1966, R Djimat Soewarno juga memisahkan diri dari SH
Panti, untuk kemudian mendirikan SH Tunas Muda Winongo yang berpusat di
Jl Doho, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
“Yang asli berdiri dari tahun 1903 sampai sekarang adalah SH Panti,”
kata Koes Soebakir. Tentang latar belakang kenapa ada perpecahan, kata
Koes, ”Itu pilihan kepentingan masing-masing pendiri yang tak ada
hubungannya dengan SH Panti.”
SH Terate, Organisasi, dan Tunas Muda memisahkan diri dari SH Panti.
Tak ada hubungan organisasi atau keilmuan, kendati pada dasarnya
berasal dari fondasi yang sama. “Secara prinsip hubungan kami dengan
semua SH baik-baik saja,” Koes memastikan.(tofikpram)
Tujuh Pengesuh atau Pengecer Setia Hati
Ki Ngabehi Surodiwiryo (1903-1944)
Koesnandar (1944-1947/Bupati Madin kala itu)
Kolonel Singgih Gubernur Akademi Militer Nasional Magelang (1947-1957)
Hadi Subroto (1957-1977)
Karyadi (1957-1977)
Soemakto (1978-1998)
Koes Soebakir (1998-Sekarang)
0 komentar:
Posting Komentar